Minggu, 29 Juli 2012

Nabi Musa AS dan Nabi Khidir (Al Kahfi 65-80)

Dari Ubay bin Ka’ab, Rasulullah bersabda,
“Pada suatu ketika Musa berbicara di hadapan
Bani Israil, kemudian ada seseorang yang
bertanya, ‘Siapakah orang yang paling pandai
itu?’ Musa menjawab, ‘Aku.’
Dengan ucapan itu, Allah mencelanya, sebab
Musa tidak mengembalikan pengetahuan suatu
ilmu kepada Allah. Kemudian Allah
mewahyukan kepada Musa, ‘Sesungguhnya Aku
memiliki seorang hamba yang berada di
pertemuan antara laut Persia dan Romawi,
hamba-Ku itu lebih pandai daripada kamu!’
Musa bertanya, ‘Ya Rabbi, bagaimana caranya
agar aku bisa bertemu dengannya?’ Maka
dijawab, “Bawalah seekor ikan yang kamu
masukkan ke dalam suatu tempat, di mana
ikan itu menghilang maka di situlah hamba-Ku
itu berada!’
Kemudian Musa pun pergi. Musa pergi
bersama seorang pelayan bernama Yusya’ bin
Nun. Keduanya membawa ikan tersebut di
dalam suatu tempat hingga keduanya tiba di
sebuah batu besar. Mereka membaringkan
tubuhnya sejenak lalu tertidur. Tiba-tiba ikan
tersebut menghilang dari tempat tersebut.
Ikan itu melompat mengambil jalannya ke
laut. Musa dan pelayannya merasa aneh sekali.
Lalu keduanya terus menyusuri dari siang
hingga malam hari. Pada pagi harinya, Musa
berkata kepada pelayannya,
ﺁﺗِﻨَﺎ ﻏَﺪَﺍﺀﻧَﺎ ﻟَﻘَﺪْ ﻟَﻘِﻴﻨَﺎ ﻣِﻦ ﺳَﻔَﺮِﻧَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻧَﺼَﺒﺎً
‘Bawalah ke mari makanan kita. Sesungguhnya
kita telah merasa letih karena perjalanan kita
ini.’ (QS. Al-Kahfi: 62)
Musa berkata,
ﺫَﻟِﻚَ ﻣَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺒْﻎِ ﻓَﺎﺭْﺗَﺪَّﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺁﺛَﺎﺭِﻫِﻤَﺎ ﻗَﺼَﺼﺎً
‘‘Itulah tempat yang kita cari,’ lalu keduanya
kembali mengikuti jejak mereka semula.’ (QS.
Al-Kahfi: 64)
Setibanya mereka di batu tersebut, mereka
mendapati seorang lelaki yang tertutup kain,
lalu Musa memberi salam kepadanya
Khidir (orang itu) bertanya, ‘Berasal dari
manakah salam yang engkau ucapkan tadi?’
Musa menjawab, ‘Aku adalah Musa.’ Khidir
bertanya, ‘Musa yang dari Bani Israil?’ Musa
menjawab, ‘Benar!’
ﻫَﻞْ ﺃَﺗَّﺒِﻌُﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥ ﺗُﻌَﻠِّﻤَﻦِ ﻣِﻤَّﺎ ﻋُﻠِّﻤْﺖَ ﺭُﺷْﺪ. ﻗَﺎﻝَ
ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﻦ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻴﻊَ ﻣَﻌِﻲَ ﺻَﺒْﺮﺍً
‘‘Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di
antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar
bersamaku.’‘ (QS. Al-Kahfi: 66–67)
Khidir berkata, ‘Wahai Musa, aku ini
mengetahui suatu ilmu dari Allah yang hanya
Dia ajarkan kepadaku saja. Kamu tidak
mengetahuinya. Sedangkan engkau juga
mempunyai ilmu yang hanya diajarkan Allah
kepadamu saja, yang aku tidak
mengetahuinya.’
Musa berkata,
ﺳَﺘَﺠِﺪُﻧِﻲ ﺇِﻥ ﺷَﺎﺀ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺻَﺎﺑِﺮﺍً ﻭَﻟَﺎ ﺃَﻋْﺼِﻲ ﻟَﻚَ ﺃَﻣْﺮﺍً
‘Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai
seorang yang sabar dan aku tidak akan
menentangmu dalam suatu urusan pun.’ (QS.
Al-Kahfi: 69)
Kemudian, keduanya berjalan di tepi laut. Tiba-
tiba lewat sebuah perahu. Mereka berbincang-
bincang dengan para penumpang kapal
tersebut agar berkenan membawa serta
mereka. Akhirnya, mereka mengenali Khidhir,
lalu penumpang kapal itu membawa keduanya
tanpa diminta upah.
Tiba-tiba, seekor burung hinggap di tepi
perahu itu, ia mematuk (meminum) seteguk
atau dua kali teguk air laut. Kemudian, Khidhir
memberitahu Musa, ‘Wahai Musa, ilmuku dan
ilmumu tidak sebanding dengan ilmu Allah,
kecuali seperti paruh burung yang meminum
air laut tadi!’
Khidhir lalu menuju salah satu papan perahu,
kemudian Khidhir melubanginya. Melihat
kejanggalan ini Musa bertanya, ‘Penumpang
kapal ini telah bersedia membawa serta kita
tanpa memungut upah, tetapi mengapa engkau
sengaja melubangi kapal mereka? Apakah
engkau lakukan itu dengan maksud
menenggelamkan penumpangnya?’
Khidhir menjawab,
ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻟَﻢْ ﺃَﻗُﻞْ ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﻦ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻴﻊَ ﻣَﻌِﻲَ ﺻَﺒْﺮﺍً. ﻗَﺎﻝَ ﻟَﺎ
ﺗُﺆَﺍﺧِﺬْﻧِﻲ ﺑِﻤَﺎ ﻧَﺴِﻴﺖُ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﺮْﻫِﻘْﻨِﻲ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻱ ﻋُﺴْﺮﺍً
‘Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak akan sabar bersamaku.’
Musa berkata, ‘Janganlah kamu menghukum
aku karena kelupaanku.’’ (QS. Al-Kahfi: 72–73)
Itulah sesuatu yang pertama kali dilupakan
Musa, kemudian keduanya melanjutkan
perjalanan. Keduanya bertemu dengan seorang
anak laki-laki sedang bermain bersama kawan-
kawannya. Tiba-tiba Khidhir menarik rambut
anak itu dan membunuhnya.
Melihat kejadian aneh ini, Musa bertanya,
ﺃَﻗَﺘَﻠْﺖَ ﻧَﻔْﺴﺎً ﺯَﻛِﻴَّﺔً ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻧَﻔْﺲٍ ﻟَّﻘَﺪْ ﺟِﺌْﺖَ ﺷَﻴْﺌﺎً ﻧُّﻜْﺮﺍً
‘Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih,
bukan karena dia membunuh orang lain?
Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu
yang mungkar.’ (QS. Al-Kahfi: 74)
Khidhir menjawab,
ﺃَﻟَﻢْ ﺃَﻗُﻞ ﻟَّﻚَ ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﻦ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻴﻊَ ﻣَﻌِﻲ ﺻَﺒْﺮﺍً
‘Bukankah sudah aku katakan kepadamu bahwa
sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar
bersamaku?’ (QS. Al-Kahfi: 75)
Maka, keduanya berjalan. Hingga tatkala
keduanya sampai kepada penduduk suatu
negeri, mereka minta dijamu kepada
penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri
itu tidak mau menjamu mereka. Kemudian
keduanya mendapatkan dalam negeri itu
dinding rumah yang hampir roboh.
ﻓَﺄَﻗَﺎﻣَﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﻟَﻮْ ﺷِﺌْﺖَ ﻟَﺎﺗَّﺨَﺬْﺕَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﺟْﺮ. ﻗَﺎﻝَ ﻫَﺬَﺍ
ﻓِﺮَﺍﻕُ ﺑَﻴْﻨِﻲ ﻭَﺑَﻴْﻨِﻚَ ﺳَﺄُﻧَﺒِّﺌُﻚَ ﺑِﺘَﺄْﻭِﻳﻞِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻄِﻊ
ﻋَّﻠَﻴْﻪِ ﺻَﺒْﺮﺍً
‘Khidhir berkata bahwa, melalui tangannya, dia
menegakkan dinding itu. Musa berkata, ‘Jikalau
kamu mau, niscaya kamu mengambil upah
untuk itu.’ Khidhir berkata, ‘Inilah perpisahan
antara aku dengan kamu.’‘ (QS. Al-Kahfi: 77–78)
.
Semoga Allah menganugerahkan rahmat
kepada Musa ‘alaihis salam. Tentu, kita sangat
menginginkan sekiranya Musa dapat bersabar
sehingga kita memperoleh cerita tentang
urusan keduanya.” (HR. Al-Bukhari no. 122 dan
Muslim no. 2380)
Pelajaran yang dapat dipetik:
1. Orang yang pandai dan terhormat boleh
meminta orang lain untuk membantu
memenuhi kebutuhannya.
2. Anjuran untuk tawadhu’ dan tidak sombong
karena kepandaiannya, dan jika ditanyakan
kepadanya, “Siapa orang yang paling pandai?”
Hendaknya menjawab, “Allahu a’lam (Allah
yang lebih mengetahui).”
3. Kewajiban melaksanakan ajaran yang telah
disyariatkan sekalipun akal tidak mampu
mencernanya.
4. Anjuran safar dalam thalabul ilmi (menuntut
ilmu agama, ed).
5. Anjuran untuk bersopan santun dengan para
ulama dan orang yang lebih tua.
6. Ketetapan adalah karamah para wali.
7. Diperbolehkan meminta makanan jika
memang membutuhkan.
8. Diperbolehkan menempuh perjalanan
dengan berlayar, dan diperbolehkan
meminjam kendaraan, menempati rumah,
atau memakai pakaian kawannya tanpa
memberi imbalan, jika pemiliknya ridha.
9. Menghukumi sesuatu berdasarkan apa yang
tampak.
10. Jika harus menghadapi dua bahaya, maka
bahaya yang lebih besar harus dihindari
dengan cara melakukan bahaya yang lebih
ringan.
11. Disyariatkan memberi bimbingan dengan
khutbah dan melakukan tanya-jawab.
12. Para nabi bisa lupa, kecapekan, lapar, dan
tidur.
13. Lemah lembut kepada pengikut dan
pembantu.
14. Manusia tidak sepi dari was-was setan.
15. Disunnahkan bahwa orang yang menyeru
seseorang kepada kebaikan atau
mengingatkannya, hendaknya ia memulai
dengan dirinya sendiri, dan tidak terlarang
pula jika sebaliknya. Keduanya disinyalir dalam
sunnah.
16. Hadits ahad diterima dalam masalah-
masalah akidah.
Sumber: 61 Kisah Pengantar Tidur,
Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, Darul
Haq, Cetakan VI, 2009.
(Dengan penataan bahasa oleh redaksi
www.kisahmuslim.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar